WELCOME TO ENDE FLORES KOTA RAHIMNYA PACASILAKOTA RAHIMNYA PACASILA

Tuesday, April 28, 2015

Percetakan Arnoldus Ende Merupakan Percatakan Pertama di Flores

 Percetakan Arnoldus Ende

Percetakan Arnoldus punya sejarah panjang. Inilah karya penting Societas Verbi Divini (SVD) atau misionaris Serikat Sabda Allah yang terbukti ikut menyumbang kemajuan masyarakat. Produk cetak yang dihasilkan amat berpengaruh pada jamannya. Tak cuma di daratan Flores namun hingga wilayah bagian Timur Indonesia.

Sebuah pesan kawat tiba di Styel, desa kecil dekat perbatasan Jerman dan Belanda, pada 8 Januari 1926. Sang pengirim Pater Regional Stenzel meminta mesin-mesin cetak yang dia pesan segera dikirim ke Flores. Tak sampai tiga bulan kemudian, sebuah kapal membongkar muatan sebanyak 50 peti. Dua diantaranya ukuran besar, masing-masing seberat 800 Kg dan 500 kg.

“Mesin-mesin tua itu dibeli di Berlin-Jerman atas perintah dari Uskup Ende kedua Mgr. Arnoldus Vestraelen,” demikian bunyi kalimat dalam buku kronik Ambachtschool tentang peristiwa itu.

Digambarkan dalam catatan itu bahwa pengiriman pesanan berharga f 15.000 itu berlangsung lancar hingga masuk ke dalam tangsi tua tanpa mengalami kerusakan yang berarti.

Pater regional, Stenzel sendiri baru memimpin upacara peletakan batu pertama pendirian komplek bangunan Ambachtschool pada 21 Mei 1926. Sehari kemudian, Moroe dan Ignas Suban dari Larantuka datang sebagai pekerja pertama pecetakan itu dibawah pimpinan Br. Viator. Kedua pekerja itu sendiri berasal dari Syanghai. Mereka berangkat pada Juli 1925 dan beberapa waktu lamanya bekerja di Larantuka dan Maumere.

Pada Tahun 1929 datang lagi satu mesin cetak berukuran besar Snelpers yaitu Planeta berasal dari Dresden-Jerman. Nama lengkap mesin itu ialah Planeta-Rapid dan dalam logat teknis menyebutkan Illustrations Buchdruckscnellaufer.

Tahun 1931, datang lagi mesin susun Typograaf berasal dari Berlin dan sebuah mesin jilid berkawat Bremer Leipzig dan satu buah mesin potong kertas Dreischneider dari Krause-Leipzig, semuanya dari Jerman. Tahun 1938 dari Koebau di Wurzburg-Jerman mengirim satu mesin cetak tangan model Boston dan satu Degelpers selain Planeta dan REX III sebuah mesin cetak.

Tahun 1947 datanglah mesin susun Linotype dan tahun 1949 sebuah mesin jahit untuk bagian penjilidan. Tahun 1950 menyusul Snelpers Victoria Front, dalam Tahun 1953 menyusul mesin jenis Heidelbergerdegel, Tahun 1954 mesin jenis Perforasi. Pada Tahun 1958 sebuah mesin Snelpers modern dengan nama President.

Percetakan Arnoldus saat ini menggunakan 6 mesin yakni mesin cetak, mesin jilid dan mesin potong. Sementara dua mesin tua tidak difungsikan lagi.

Hasil Cetakan
Kronik Ambachtschool juga mencatat bahwa pada tanggal 21 Juni 1926 telah dicetak lembar pertama teks doa perambatan injil berjudul Sende Aus dalam bahasa Melayu dan diucapkan dalam Upacara Ekaristi yang untuk pertama kalinya dipimpin oleh Pater Stenzel dalam Kapel Rumah Biara Santo Josef.

Terbitan sederhana itulah awal sumbangsih percetakan pertama di Nusatenggara bernama Arnoldus di sebuah bangunan bekas yang kini sudah tak ada lagi. “Sende Aus” yang berarti utuslah itu dimanfaatkan sebagai nama majalah yang terbit pada 26 Oktober 1926.

Edisi perdananya tampil dengan gambar sampul berjudul “Kristus Ratu Itang” Majalah sederhana untuk ukuran sekarang karena Cuma 16 halaman saja. Pater Frans Mertens dipercaya memimpin penerbitan yang kemudian mencapai tiras 3000 eksemplar dan dijual seharga 2 ½ sen per nomor.

Selain itu sebuah majalah bulanan bernama “Bintang Timur” diterbitkan pada 1928 oleh tim kerja yang dipimpin Pater Fries. Namun Pater Cornelissen pemimpin berikutnya memutuskan untuk berpindah ke percetakan Kanisius di Jogyakarta.

Selain mencetak dan menerbitkan publikasi masalah keagamaan, penerbitan lain menyangkut masalah sosial masyarakat seperti masalah pertanian, pendidikan, keluarga dan sejarah.

Hasil cetakan penting lain yang membuat percetakan ini makin popular adalah almanak St. Mikael yang terjual hingga lebih dari 4000 eksemplar. Lebih hebat lagi, buku nyanyian gereja Jubilate yang mengalami cetak ulang lebih dari 10 kali dan terus diperbaharui gaya Bahasa dan ragam lagu mengikuti perubahan jaman.

Penerbitan lain berupa buku-buku ilmu pengetahuan terutama hasil karya ilmiah di bidang bahasa, penelitian mengenai agama dan kebudayaan. Misalnya kamus bahasa Lio, Gramatik bahasa Sikka dan bahasa Solor, juga buku-buku pelajaran agama dalam Bahasa Melayu dan Bahasa-bahasa lokal. Tentu jumlah cetakan jenis ini lebih sedikit.

Sebelumnya, pada Januari 1927, sebuah lembaran berita yang mula-mula bernama “Vergissmeinnicht” untuk lingkungan biarawan SVD, kemudian berganti nama menjadi “Endepost” dan terakhir menjadi Berita Regio Ende.

Setelah kemerdekaan, pada tahun 1946 terbitlah majalah dua mingguan “Bentara” dengan redakturnya Pater Conterius, kemudian Pater M. Malar dan terakhir Frans Tan. Majalah dua mingguan ini bertahan hingga tahun ke-13 dan mencapai 35.000 eksemplar. Peredarannya cukup luas hingga jauh ke pulau-pulau lain di Indonesia sampai saat berhentinya dalam tahun 1961.

Sepeninggal Bentara di usianya yang ke 15, muncul lagi majalah “Dian” dan “Kunang-Kunang.” Majalah dua mingguan “Dian” untuk kalangan umum dan beroplaag 6.500 dan “Kunang-Kunang” untuk anak-anak dan beroplaag 12.000 pimpinan redaksi dua majalah ini adalah Ben Oleona dan Sr. Emmanuel OSU.

Sejak mula percetakan Arnoldus bertindak juga sebagai penerbit buku-buku dan majala-majalah. Semuanya masih dalam rangkah perkembangan. Sampai tiba waktunya percetakan Arnoldus mempunyai sebuah cabang sendiri sebagai penerbit dengan nama “Nusa Indah” dan juga menjual buku melalui toko buku Nusa Indah.

Dengan cara demikian suatu rencana yang lebih teratur untuk percetakan dapat disusun oleh Penerbit Nusa Indah dan hsil percetakan dapat disalurkan ke pasar buku seluruh Indonesia.

Saat ini percetakan Arnoldus merupakan salah satu unit perusahan PT Arnoldus Nusa Indah (PT ANI) yang masih terus beroperasi dan bersaing dalam percetakan untuk wilayah Flores dan sekitarnya.

Jujur dan Taat
“Belajar mencetak memang cukup sulit. Yang sulitnya adalah sistem percetakan dan saya belajar bertahun-tahun. Saya mulai cetak pertama buku menulis. Cetak hanya garis-garis horizontal saja tetapi sulit sekali karena harus diatur tebal dan tipisnya,”ujar Kosmas Wadhi, salah seorang mantan karyawan yang mulai bekerja pada tahun 1965.
Kosmas Wadhi mulai bekerja dengan gaji Rp 30 sebulan tahun 1965. Foto Ian Bala

Kosmas Wadhi mulai bekerja dengan gaji Rp 30 sebulan tahun 1965. Foto Ian Bala

Saat memulai pekerjaannya, Kosmas mendapat arahan dari dua Bruder asal Flores yaitu Bruder Benjamin Ade yang berasal dari Sikka dan Bruder Vinsen Bao yang berasal dari Ndora-Nagekeo. Keduanya saat itu baru selesai mengikuti pelatihan percetakan di Jerman. Direktur Percetakan Pater Neuhaus memang menghendaki Kosman menjalankan tugas itu.

Dengan honor awal sebesar Rp 30 sebulan, Kosmos memulai karirnya dengan kepatuhan dan kejujuran sebagai aturan utama yang harus ditaati sesuai Misi SVD. Setiap tahun ada perubahan honorer dan pada akhir ia pensiun Tahun 2003, ia menerima Rp 800.000 gaji pokoknya.

“Waktu itu, honor sebesar itu sudah lumayan untuk kebutuhan hidup. Tapi sebenarnya bukan honor yang kita tuntut tetapi pengabdian terhadap misi itu yang kami jalankan. Syukur kami sudah mengenal mesin dan bisa mencetak buku-buku, ”ujar dia. pria tamatan sebuah Sekolah Menengah Pertama ini.

Apa yang dia jalani selama empat dekade hidupnya itu membuat pria tamatan sebuah SMP ini merasa bangga. Pengabdiannya bersama Misi SVD berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat Flores umumnya, bahkan hingga ke wilayah lain.

Yohanes Ben Ngouth, 84 tahun, warga Jalan Irian Jaya-Ende, sepakat dengan penuturan itu. Kakek yang biasa dipanggil Yan Ngouth itu bekerja dalam kurun waktu 1947 hingga pensiun pada tahun 1984. Dia bertanggungjawab mengoperasikan sebuah mesin cetak Boston dan mesin jenis REX III.
Yohanes Ben Ngouth bangga pengabdian panjangnya memberi arti. Foto Ian Bala

Yohanes Ben Ngouth bangga pengabdian panjangnya memberi arti. Foto Ian Bala

“Dulu kami cetak dengan menggunakan mesin offset. Memang sulit karena kita harus susun huruf dahulu sesuai abjadnya dan ditempel di plat.”kata mengenang tugas-tugasnya di bawah supervisi Bruder Benjamin dan Bruder Vinsen.

Delapan orang karyawan percetakan ini bekerja dengan disiplin tinggi dan kejujuran. Mesin-mesin baru selalu datang menggantikan yang tua dan rusak. Setiap mesin baru datang, mereka mesti belajar kembali karena karakternya selalu berbeda. .

”Sudah banyak rohaniwan asing dan lokal yang menerbitkan buku-buku. Saya cukup bangga dengan kehadiran percetakan ini karena sangat membawa hal yang positif,”tambah dia.

Penulis : Ian Bala
Editor: Donny Iswandono
www.floresbangkit.com

No comments:

Post a Comment